Skip to content

Karno Tanding 6/7 Kebimbangan Arjuna dalam menghadapi saudara sedarahnya..

September 20, 2010

Rasa duka dan kehilangan mendalam masih terasakan di Pakuwon Pandawa Mandalayuda, perbatasan Wiratha – Hastina Pura. Para remaja Putra Pandawa berguguran di medan laga. Arjuna kehilangan Abimanyu, Putra pertama yang diharapkan menjadi penerus generasi, penyambung trah Madukara. Bratasena kehilangan Raden Gatotkaca yang gugur dengan antaran Senjata Kunta Prabu Basukarno. Tidak hanya kehilangan anak tersayang, malam ini Wrekudara juga ditinggal istri tercinta Dewi Arimbi. Demi menepati janji sayangnya kepada Gatotkaca, sang Ibu Dewi Arimbi menyusul kepergian sang Putra Gatotkaca dengan nglayu mati obong, membakar diri.
Bagi Arjuna dan Wrekudara, duka ini seolah menghilangkan daya dan semangat hidupnya untuk meneruskan niat suci di awal perang Baratayuda. Perang ini sejatinya bukan hanya untuk hangrukebi tanah Amarta dan separo Hastina yang menjadi haknya. Namun lebih dari itu, perang ini adalah perang suci untuk menentukan dan mengadili siapa yang sejatinya salah atau benar. Ini adalah perang suci untuk menuntaskan lakon angkara murka di muka bumi oleh para satria yang mengmbil kebenaran dan darma bakti sebagai jalan hidup. Perang ini adalah tugas suci dari Yang Maha Kuasa bagi satria utama kesayangan Dewata untuk menumpas angkara murka dan tingkah durjana meskipun dengan pengorbanan tak terkira untuk mewujudkannya.
Tenggelam dalam kesedihan dan keputusasaan yang dalam membuat suasana perkemahan sepi nyenyet seperti kuburan. Puntadewa, Wrekudara, Arjuna, Nakula Sadewa digelayuti dengan pikiran sedih dan duka masing – masing. Puntadewa, menunduk dalam menyilangkan kedua tangan di dadanya, tanpa ucap sepatah pun. Wrekudara, berdiri seperti gunung batu. Tanpa gerak. Hanya sesekali gereng – gereng layaknya singa luka. Arjuna tertunduk lesu seolah tanpa sepotong tulang pun menyangga tubuhnya. Lemas tanpa daya. Dewi Kunti, ibu para Pandawa, sesekali tangisnya membuncah demi mengalami peristiwa memilukan. Pikir dan rasanya belum bisa sepenuhnya menerima takdir Dewata mengapa perang ini terjadi. Mengapa kedua darah kuru ini harus saling bunuh di medan laga seperti ini ? Mengapa Dewata begitu tega mengadu otot, daging, dan darah dua pihak yang masih bersaudara ini?
Hanya Kresna, titisan Wisnu itu, yang terlihat tenang menyikapi suasana dan kejadian ini. Bahkan dia sudah membaca arah perang ini akan ke mana. Maka setelah beberapa saat diberikannya kesempatan untuk para Pandawa menuntaskan perasaan sedih dan kecewanya itu, mulailah dia mencoba memecah suasana nglayut ini.
“Sudah – sudah, adik – adikku penyesalan dan kesedihan kalian jangan sampai berlama – lama kalian renungi. Ingatlah, perjuangan ini masih panjang. Kita masih memerlukan energi, daya, dan upaya yang tidak sedikit untuk menuntaskan tugas suci ini. Jika kalian terus larut dalam kesedihan seperti ini, bagaimana kita bisa menyelesaikan tugas Dewata ini?. Arjuna…Lihatlah Panglima perang Hastina di luar sana tengah mengamuk, merusak dan menerjang barisan prajurit Pandawa. Semakin banyak saja pasukan kita yang gugur tak kuasa menghadapi kesaktian Adi Karno. Yang aku dengar, sumbarnya Adipati Karno selalu mencari dan menantang kamu sebagai lawan, Arjuna. Dan memang menurut apa yang aku rasakan dan aku pikirkan, hanya kamu Arjuna yang kuasa menandingi Krida Kakangmu Adipati Karno. Hanya kamu yang mampu menyamai kehliannya dalam olah panah dan adu curigo. Arjuna…, kalau kamu terus – terusan bersedih begini, percayalah, tidak akan lama lagi pasukan Pandawa akan tumpas habis karena Adipati Karno..”
Arjuna…“Kakang Prabu, sesembahan saya…Orang yang saya hormati, Raja yang sudah kondang bijak di seantero jagad. Lihatlah perang ini, siapa lawan siapa, apa yang diperebutkan?? Pandawa dan Kurawa adalah saudara sedarah. Pandawa adalah anak – anak Pandu Dewanata yang tidak lain adalah adik Dewabrata ayah para Kuarawa. Yang diperebutkan adalah sejengkal tanah Amarta dan Hastina. Namun….hanya beberapa hari perang ini terjadi, berapa banyak jiwa tak berdosa telah terbunuh oleh saudara – saudaranya sendiri. Sekarang….Kakang Prabu mengharuskan saya berhadapan dan akan saling bunuh dengan Kakang Karno yang tidak lain adalah kakak kandung saya sendiri meskipun berbeda ayah. Kakang Prabu….dosa apa dan salah apa nanti yang akan saya sandang dan harus saya pertanggungjawabkan di hadapan Yang Maha Pengadil akibat saya saling bunuh dengan saudara sendiri ? Kakang Prabu….., Kakang Karno adalah darah daging saya sendiri. Darah yang mengalir di tubuh kami adalah darah yang sama, daging dalam tubuh kami adalah dari sumber yang sama. Tulang – tulang yang menyangga tubuh kami dari benih tulang yang satu. Bagaimana saya tega menghadapi orang seperti itu Kakang ? Belum lagi bagaimana perasaan Ibu Dewi Kunti jika melihat kami berdua akan saling bunuh disaksikan ribuan orang di tengah ladang Kurusetra? Kakang…kita sudahi saja perang ini sampai di sini sebelum lebih banyak darah sanak saudara kita tumpah, sebelum daging – daging dari famili kita robek karena senjata dan tangan kita sendiri..Duh Kakang Prabu……, saya terima kalah perang saja tidak apa – apa. Saya terima tidak mendapatkan apa – apa dari tanah Amarta dan Hastina saja daripada harus menghadapi Kakang Karno, darah daging saya sendiri.”
“O…begitu…Adikku yang bagus rupa dan hatinya, adikku yang kondang dikasihi dan selalu menjadi jagonya Dewa. Perang ini tidak hanya sekedar memperebutkan sejengkal tanah Amarta ataupun Hastina. Lebih dari itu ini perang suci yang sudah digariskan oleh Yang Punya Hidup untuk mengadili mana yang salah dan mana yang benar. Perang ini adalah perang yang benar melawan yang salah, adalah perang pembela kebenaran melawan angkara murka. Perang ini akan menuntaskan riwayat sang durjana dengan perantaraan darma bakti suci para satria. Oleh karena itu adiku….Dalam perang suci ini, seperti perang – perang yang lain, tidak ada lagi hubungan sanak saudara. Yang ada adalah musuh yang harus dimusnahkan. Dalam perang yanag ada adalah jika tidak mau dibunuh ya harus membunuh, jika tidak ingin terluka ya harus mau melukai. Dalam, perang butuh pengorbanan itu pasti. Namun itu semua hanya merupakan syarat yang harus kita bayarkan, agar tujuan suci tercapai. Jer basuki mawa bea adikku. Adikku, jika kita tidak ingin berperang dan berkorban, jangan kamu kira keadaan akan lebih baik. Kamu sendiri dan Para Pandawa sudah merasakan betapa menderita dan sengsaranya kalian karena angkara murkanya saudara – saudara mu Pandawa. Tidak hanya Pandawa yang menderita, seluruh rakyat Amarta juga menderita karena mereka tidak merdeka lagi setelah kalian tinggalkan akibat kalian tunduk laksana budak kepada Duryudono dan saudara – saudaranya. Apa kamu akan membiarkan angkara murka terus – terusan meraja lela di dunia ini, hanya karena sayangmu kepada Karno dan ketidaktegaanmu melihat Ibu Kunti sedih – meskipun hanya sementara – melihat salah satu di antara kalian gugur sebagai satria sejati ? Arjuna…aku kasih tahu kamu adikku…Jangan dikira jika nanti Basukarno gugur di medan laga, itu adalah penderitaan buatnya. Oh…tidak adikku…., Ketahuilah kematian yang suci seperti itulah yang dicari oleh Kakangmu Karno. Kamu ingat sewaktu lakon “Kresna Duta” ?. Waktu itu aku bertindak sebagai utusan Pandawa ke Astina untuk meminta kembali hak Pandawa berupa tanah Amarta dan separo Hastina, namun ditolak oleh Duryudono. Waktu itu juga, aku membujuk Karno untuk berkumpul dengan para Pandawa dan meninggalkan Kurawa. Namun bujukanku itu ditolak, mengapa ? Karena Karno tahu, jika dia tidak lagi berpihak pada Kurawa pada perang Baratayuda ini, maka Duryudono tidak akan berani berperang dan itu artinya angkara murka akan terus merajalela di dunia. Selain itu, Kakangmu adalah Satria sejati yang memegang janji dan teguh pada prinsipnya. Kenikmatan dan kesenangan dunia ini tidak ada artinya baginya. Maka kematian dalam perang baginya adalah jalan darma bakti sucinya sebagai satria, oleh karenanya Adikku, bagi Karno kematian ini adalah pintu kenikmatan surgawi adikku. Dan dia ingin kamu, adik yang dicintai, yang akan mengantarkannya menghadap Yang Punya Hidup kepada gerbang kenikmatan surgawi.”
Wrekudara menyahut.“Wa….sudah – sudah, Kalau Jlamprong tidak berani melawan Karno, biar aku saja yang menghadapi Kakang Karno, sekalian membalas dendam kematian Gatot anakku..”
“We…la…,tidak bisa begitu Wrekudara. Perang ini adalah perang suci yang harus taat pada aturan. Dan aturannya, jika Karno menjadi panglima perang, maka yang harus menghadapi adalah Arjuna. Lagi pula, dalam perang suci ini tidak boleh ada dendam. Kedua belah pihak berhadapan hanya didasarkan pada tugas dan peran masing – masing, bukan atas dasar dendam kesumat Wrekudara. Arjuna, bagaimana adikku, sudah siap rasa dan ragamu untuk mengantarkan kematian suci Kakangmu Karno ?”
“Terimakasih Kakang, saya sudah siap, mohon do’a restunya…”
“Bagus..ayo segera Arjuna, jangan sampai kehilangan waktu. Aku yang akan menjadi kusir kereta perangmu yayi..”
Maka berhadapanlah kedua saudara sedarah ini sebagai musuh yang harus saling mengalahkan di ladang perang Kurusetra. Di satu sisi Raden Arjuna mengendari kereta perang Dwarapati yang bernama Jaladara yang dikendalikan sendiri oleh sang empunya Kereta, Prabu Sri Kresna. Di pihak lain kereta perang Basukarno dikendalikan oleh sang mertua Prabu Salya dari Kerajaan Mandaraka.

Karno Tanding [6], Kebimbangan Arjuna dalam menghadapi saudara sedarahnya..

From → culture

Leave a Comment

Leave a comment